Ketika penerbit Erlangga mengirim saya belajar bahasa Inggris di University of Maine pada tahun 1996, saya begitu takjub dengan fasilitas internet di kampus yang berbatasan dengan Sungai Stillwater dan sebuah hutan kecil yang konon kabarnya merupakan habitat beruang hitam. Artinya di kampus pinggir hutan pun internetnya bagus. Beda jauh dengan kondisi di Tanah Air ketika itu, di mana internet baru ada di kota-kota besar di Jawa saja. Pelanggannya juga baru beberapa perusahaan saja. Kalau tidak salah, ketika itu baru ada Radnet dan CBN.net sebagai penyedia jasa internet (ISP) di Indonesia, atau mungkin tepatnya di Jakarta.
Namun di USA, di mana University of Maine berada, di “kampung” saja sudah ada jaringan internet. Di kampung? Ya benar, karena Univ of Maine berada di kota kecil bernama Orono yang berpenduduk 10 ribu jiwa. Di sana hanya ada satu klinik, satu supermarket, satu tukang cukur, satu kantor sheriff, dan satu bank. Orang datang ke Maine biasanya untuk berburu, karena hutannya masih lebat dan banyak hewan buas, terutama beruang hitam. Kota terdekat bernama Bangor yang memiliki satu mall dan sebuah hypermarket, dan bandaranya hanya bisa didarati pesawat kecil bermesin baling-baling.
Alhamdulillah, meskipun dikirim ke universitas di kota kecil, tapi fasilitas internet sudah memadai untuk kegiatan belajar/kuliah. Di perpustakaan kampus disediakan puluhan PC dan komputer Mac yang terkoneksi ke internet. Layanan dibuka dari pagi sampai pukul 21.00. Kalau mau begadang, silakan ke computer cluster di Student Center, yang juga menyediakan puluhan komputer yang terhubung ke internet dan buka selama 24 jam, dan hanya tutup di akhir pekan. Ya, tutup, karena akhir pekan adalah waktu bagi mahasiswa untuk bermain sepuasnya.
Bayangkan, ketika di Tanah Air yang namanya koneksi internet masih berupa barang mewah, di kampus tempat saya belajar tersedia gratis dan melimpah. Bahkan jaringan internet tersedia di asrama. Jadi mahasiswa yang tinggal di asrama dan memiliki laptop, dapat memesan koneksi internet ke kamarnya di asrama. Sekali lagi, saat itu adalah tahun 1996, di saat internet belum booming di negara-negara berkembang.
Suatu pagi, setelah sarapan di kantin asrama Knock Hall (karena di asrama saya, Estabrooke Hall, tidak ada kantin), saya pergi ke perpustakaan. Hendak mengerjakan tugas yang diberikan Dr Theresa Woznic, guru kelas Academic Composition kami. Tugas harus dikumpulkan ke e-mail beliau sebelum pukul 24.00 hari tersebut. Oiya, karena ketika itu belum ada yahoo mail, apa lagi gmail, dan hotmail juga belum terlalu dikenal, maka setiap mahasiswa mendapat satu akun e-mail dengan domain @umaine.edu.
Pagi itu kebetulan salju turun. Di luar tidak terlalu dingin karena angin tidak berhembus kencang, dan salju pun turun tipis-tipis saja. Namun cukup dingin juga untuk bergegas masuk ke perpustakaan yang pasti hangat. Di halaman perpustakaan saya lihat seorang bapak tua berpakaian lusuh dan rambut yang kurang terurus sedang berjalan menuju pintu perpustakaan. Bisa dipastikan bapak tua ini seorang tuna wisma. Saya masuk ke perpustakaan dan dia juga. Saya fikir dia mencari tempat untuk memansakan diri. Setelah membuka jaket dan membersihkan serpihan salju yang masih menempel di jaket, saya berjalan menuju ruang komputer. Eh rupanya si bapak tua ini juga menuju ruang komputer, dan duduk di depan salah satu komputer yang tersedia. Rupanya, di negara ini, seorang tunawisma saja punya kepentingan dan kemudahan mengakses internet!
Saya tidak perhatikan lagi apa yang bapak tua itu kerjakan di depan komputer. Namun saya jadi berfikir bahwa di suatu saat, di Indonesia juga pasti akan terjadi hal seperti ini, di mana semua orang menjadi memiliki kemudahan mengakses internet. Lalu saya berfikir, bisa jadi, suatu ketika, di Indonesia, eBook juga akan mudah diperoleh. Mohon dicatat, ketika itu, di USA saja eBook belum populer. Kenapa saya sampai berfikir seperti itu? Ya wajar saja, karena saya seorang karyawan penerbit buku yang ketika itu sedang berada di depan komputer yang terkoneksi ke internet, dan berada di sebuah perpustakaan. Namun segera saya tersadar bahwa tugas harus segera saya kerjakan. Saya harus melakukan paraphrasing, yaitu mengubah sebuah tulisan dengan kata-kata saya sendiri dan dengan gaya penulisan berbeda. Kalau tidak selesai, bisa dimarahi Dr. Woznic di kelas.
Tiga tahun kemudian, atau setahun setelah saya menikah. Setelah anak sulung saya lahir. Istri saya (yang sekarang sudah jadi mantan istri) menunjukkan sebuah iklan penerimaan mahasiswa S2 di Fakultas Ilmu Komputer UI di majalah Tempo. “Ayo kuliah lagi, Kang, ini di Komputer UI,” saran dia. Wah, ini menarik, fikir saya. Lalu besoknya saya tanya-tanya ke sekretariat Pascasarjana Fasilkom UI di Salemba. Beberapa hari kemudian saya mendaftar untuk mengikuti tes seleksinya. Materi tes seleksi masuknya tidak banyak, hanya matematika, Bahasa Indonesia, English, dan pengetahuan dasar komputer.
Beruntung dulu ketika kuliah S1 di Fisika ITB saya mengikuti mata kuliah mengenai pemrograman dan pengolahan data yang isinya kurang lebih mengenai analisis numerik, flowchart, dan dasar-dasar pemrograman. Jadi, saya tidak mengalami kesulitan ketika mengerjakannya. Sementara itu sehari-hari, di kantor, saya bergelut dengan pekerjaan yang berkaitan dengan kebahasaaan. Alhamdulillah saya diterima, nama saya ada di koran yang memuat pengumuman penerimaan. Waktu itu pengumumannya masih di koran nasional. Tentu saja saya bersyukur, lalu lapor ke atasan saya. Namun justru beberapa atasan saya di kantor bingung kenapa saya menagambil S2 bidang komputer?
Sebetulnya sederhana. Apa yang saya lakukan ketika itu adalah persiapan masa depan untuk berkarir di dunia penerbitan. Karena dalam perkiraan saya ketika itu, di masa depan internet di Indonesia akan berlimpah seperti di USA sebagaimana yang saya alami di tahun 1996. Otomatis eBook akan muncul. Jadi kita harus siap sebelum hal itu terjadi. Namun ketika itu saya masih terlalu muda untuk bisa meyakinkan atasan-atasan saya bahwa apa yang saya lakukan itu demi masa depan perusahaan. Belum lagi urusan jadwal kuliah yang pasti akan membuat saya harus pulang kerja lebih awal setiap hari. Urusannya jadi rumit. Saya sendiri menjadi bimbang, apakah akan meneruskan karir di dunia penerbitan atau beralih ke dunia IT.
Ujung-ujungnya saya pindah bekerja di perusahaan IT (tepatnya perusahaan yang mulai masuk ke bisnis IT). Namanya PT Daya Indosa. Sebetulnya kepindahan saya juga karena alasan jarak, karena kantor Daya Indosa ini tidak jauh dari kampus. Jarak menjadi pertimbangan saya karena perkuliahan diadakan setiap hari dari pukul 4 sore sampai 9 malam. Pemilik perusahaan juga tidak keberatan jika sesekali saya mengerjakan tugas di komputer kantor. Ketika kuliah saya selesai, bersamaan dengan itu Daya Indosa sudah benar-benar terjun di bisnis IT. Kami memiliki tim yang terdiri dari sekitar 25 orang yang mengerjakan pembuatan sistem informasi dan beberapa perangkat keras yang berbasis IT.
Awalnya kami mengerjakan sistem terintegrasi untuk dunia pendidikan. Saya benar benar menikmati pekerjaan ini. Terus terang, saya bukan seorang programmer atau desainer perangkat lunak. Namun saya dipercaya pemilik perusahaan memimpin mereka, dan so far tidak ada masalah. Saya sangat bangga bisa memfasilitasi dan melayani tim yang isinya para programmer dan desainer perangkat lunak yang masih muda-muda dan berasal dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Negeri ini. Namun, seiring dengan perkembangan pekerjaan yang berimplikasi pada diversivikasi tugas, saya mulai merasa jenuh dengan pekerjaan. Apa lagi dengan beberapa tugas baru yang kemudian membuat saya menjadi jarang berinteraksi dengan tim IT kami yang berada di kota Bandung, sementara saya berkantor di kantor Cabang Jakarta, dan malah lebih banyak berinteraksi dengan klien.
Ujung-ujungnya, beberapa pekerjaan mundur dari jadwal. Pekerjaan saya jadi lebih sering mengunjungi klien untuk meminta waktu tambahan. Tentu saja ini kerugian bagi perusahaan. Saya nilai saya tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini. Akhirnya saya menyerah, dan mundur dari pekerjaan sebelum perusahaan mengalami kerugian yang lebih banyak. Ketika itu juga saya berfikir, bukankan tujuan saya dulu belajar IT itu sebagai antisipasi masuknya eBook ke dunia penerbitan Indonesia? Lantas kenapa saya jadi masuk ke dunia IT-nya sendiri?
Akhirnya saya kembali ke dunia penerbitan. Saya bekerja di penerbit Yudhistira Ghalia setelah mendapat izin pindah kerja dari pemilik PT Daya Indosa, pak Ibnu Setijobudi. Kami tetap berhubungan baik meskipun saya tidak lagi bekerja di perusahaan milik pak Ibnu. Pernah suatu ketika beliau sempat “marah” karena saya lupa mengabari beliau ketika ayah saya meninggal. “You gimana sih Djadja, papa you meninggal koq gak ngabari saya?” kata beliau di telepon. Saya terharu, rupanya beliau masih merasa saya bagian dari kehidupan beliau.
Sekarang sudah hampir 15 tahun saya bekerja di Yudhistira Ghalia Indonesia (YGI). Ketika pertama kali masuk di YGI, di tahun 2004, pemakaian internet di Indoneisa belum semasif sekarang. Ketika itu hanya orang kaya yang punya Blackberry dan hanya orang berada yang memiliki sambungan internet di rumahnya. Android belum ada, mekipun ada beberapa ponsel yang memiliki fasilitas WAP untuk mengakses internet. Namun internetnya masih lelet banget. Ketika itu, jaringan seluler belum 4G. Jangankan 4G, lha 3G saja belum ada. Seingat saya, mengakses youtube dengan Blackberry saja lamanya bukan main di masa itu. Jadi, jangankan bicara eBook, bahkan ketika itu belum semua orang punya e-mail.
Namun demikian, semimar-seminar ttg eBook sudah mulai ramai. Beberapa tahun kemudian Papataka dan Wayang Force sebagai “penerbit” eBook sudah ada. Namun tablet masih mahal. Masih jadi barang mewah ketika itu. Tak lama setelah itu muncul buqu dan qbaca (Telkom) meramaikan dunia eBook di Tanah Air. Tak berapa lama, Google PlayBook juga masuk ke Negara kita seiring ramainya penjualan ponsel berbasis Android. Bahkan Google menggandeng sebuah penerbit Indonesia, milik kang Hikmat Kurnia, untuk bermitra.
Kalau tidak salah hitung, ramainya eBook di Tanah Air terjadi di tahun 2010-an …. atau katakanlah 14 tahun setelah lamunan saya di Fogler Lybrary alias perpustakaannya Univ of Maine, di Orono, USA. Terus terang, karena keasyikan saya bahu membahu membangun divisi buku SMK Yudhistira dengan rekan dan sekaligus sahabat saya, pak Ery Novidrian, saya jadi lupa mengamati perkembangan eBook di Indonesia. Padahal itu mimpi saya, dan itu saya persiapkan dengan serius. Beruntung saya juga aktif sebagai Pengurus Ikapi arau Ikatan Penerbit Indonesia. Ketika Ikapi menugasi saya sebagai pembicara di sebuah Seminar mengenai perkembangan eBook di kota Naning, ibu kota Provinsi Guang Xi, Republik Rakyat China, maka saya “belajar” lagi mengenai eBook.
Untungnya lagi, saya memiliki seorang teman yang memang pakar di dunia penerbitan, yakni mas Bambang Trim. Beberapa hal mengenai eBook pun beliau fahami dengan baik. Ikapi pun cukup bijaksana dengan juga menugasi mas Bambang ke seminar tersebut. Jadilah kami berduet. Kami berdua menyiapkan bahan, dan saya menyampaikan di forum. Itu semata karena saya lebih lancar berbicara dalam bahasa Inggris ketimbang mas Bambang, tapi materinya merupakan kerja bareng kami berdua. Sejak saat itu, saya jadi mulai rajin belajar kembali mengenai perkembangan eBook.
Niat yang baik itu in sya Allah akan diikuti banyak hal baik. Prinsip itu saya pegang sejak masa-masa awal mulai bekerja. Dan benar, setelah saya niatkan, lalu semua seperti berdatangan menghampiri saya. Tiba-tiba Ikapi kedatangan beberapa “pemain” eBook. Dua di antaranya adalah pak Hary Chandra dan mas Erlan Primansyah. Pak Hary ini benar-benar pakar. Beliau CEO dan founder Pesona Edu, sebuah perusahaan penyedia konten pendidikan dalam format elektronik, atau boleh disebut sebagai sebuah penerbit eBook. Konten yang dikembangkan sungguh luar biasa, tergolong sebagai eBook Generasi Keempat. Konon tidak banyak perusahaan seperti ini di dunia! Mungkin kurang dari lima perusahaan yang menguasai teknologi ini.
Mas Erlan juga bukan sembarang pemain eBook. Pimpinan dan founder buqu ini juga tampil di dunia persilatan eBook dengan platform yang menurut saya adalah solusi bagi para penerbit konvensional yang ingin masuk ke dunia eBook. Mas Erlan tidak menerbitkan buku, tapi beliau memiliki teknologi dan data base yang bisa dimanfaatkan para penerbit dan pihak-pihak yang tertarik untuk mendirikan toko buku elektronik, alias eBookStores. Saya belajar banyak dari Pak Hary dan mas Erlan, selain tentunya juga belajar dari kang Hikmat yang merupakan mitra Google Play Book.
Nah, setelah saya kurang lebih memahami perkembangan eBook, apakah lantas saya berteriak kepada direksi YGI agar kami segera menerbitkan eBook? Hampir saja itu saya lakukan, atau barangkali pernah beberapa kali saya suarakan kepada beberapa rekan sekantor. Namun saya juga lama-lama menyadari bahwa tidak mudah bagi para penerbit di Indonesia untuk berbisnis eBook. Kenapa demikian?
Berbeda dengan di negara-negara maju, di mana para penerbit besar biasanya tidak memiliki percetakan, maka di Indonesia ini hampir semua penerbit besar memiliki percetakan. Artinya, para penerbit harus berfikir berulang kali untuk mulai masuk ke bisnis eBook. Itu sama dengan mengembangkan bisnis yang akan secara perlahan akan mematikan usaha percetakannya. Namun demikian, penerbit juga harus menyiapkan SDM yang menguasai pengolahan konten digital dan infrastrukturnya. Ini penting, agar jika masyarakat sudah benar-benar meninggalkan buku cetak, maka penerbit telah siap. Tentu saja ini menjadi dilema bagi penerbit.
Sementara itu, interaksi saya dengan pak Hary semakin sering, karena pak Hary semakin aktif hadir di beberapa acara yang diselenggarakan Ikapi. Sampai suatu ketika beliau menawarkan kerjasama antara Pesona Edu dengan Yudhistira Ghalia. Saya sampaikan penawaran ini kepada pimpinan, dan mendapat reaksi positif. Pak Hary lalu mempresentasikan konten digital dan tentu saja semua rekan saya di Yudhistira terkagum-kagum. Namun kerja sama belum terwujud karena kami belum menemukan model bisnisnya.
Sejak itu, setiap bertemu dengan pak Hary, kami selalu berdiskusi kira-kira bagaimana memformulasikan bentuk kerja sama antara Yudhistira dengan Pesona Edu. Sampai pada akhirnya beliau mengusulkan penjualan secara bundling, artinya konten digital milik Pesona Edu digandengkan ke buku Yudhistira, dan dijual sebagai sebuah paket. Everybody’s happy, dan kerja sama terwujud!
Saya kurang tahu sudah sejauh mana kinerja penjualan secara bundling tersebut. Namun sejak itu, di kalangan manajemen Yudhistira seolah ada sebuah pamahaman yang sama bahwa saat ini kami tidak lagi bertanya apakah akan tetap mempertahankan buku cetak atau eBook. Kami tidak lagi melihat keduanya sebagai sesuatu yang berlawanan. Kami tidak melihat bahwa eBook atau konten digital akan memakan buku cetak. Namun kami berfikir bahwa eBook atau konten digital ini adalah sesuatu yang dapat memberi nilai tambah pada buku cetak!
Jadi sekarang kami tidak lagi berfikir “Cetak Vs Elektronik”, tapi kami memanfaatkan kecanggihan konten atau teknologi digital/elektronik ini sebagai kawan buku cetak sehidup semati. Ini artinya, bisnis cetak terus berlanjut, dan pembaca tidak melihat buku kami ketinggalan zaman, karena memiliki fitur digital. Jadi ketika ada orang yang bertanya, “Kang, apakah di masa depan buku elektronik akan menggantikan buku cetak?” maka jawaban saya mudah saja, “Saya tidak tahu, tapi yang jelas ekarang kami menjadikan konten elektronik sebagai pendamping buku cetak, sehingga buku cetak kami memiliki nilai lebih.” (kang Djadja, Bogor, 27 Sep 2018)