Beranda Djadja Subagdja

Yuk kita bebenah!

Archive for January 21st, 2016

Sepeser dari Saya untuk IA ITB

Posted by djadjasubagdja on January 21, 2016

Tanggal 22-24 Januari 2016 besok akan berlangsung Kongres Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) yang ke-9  di kampus ITB. Tidak banyak alumni yang mengetahui tentang Kongres ini. Kebanyakan alumni hanya tahu bahwa tanggal 23-nya adalah Hari Pemilihan Ketua Umum IA ITB. Wajar lah, karena pemilihan ketua merupakan hal yang paling seksi dari seluruh rangkaian kegiatan kongres sebuah organisasi.

Hingar-bingar kampanye para timses kandidat Ketua Umum nampak terlihat di media-media sosial dan beberapa chatting group. Terus terang, saya salut dengan kreativitas teman-teman saya sealmamater yang menjadi timses ini. Ya iya lah, ITB gitu loh. Lalu bagaimana reaksi alumni? Beberapa teman alumni ada yang kritis memberikan tanggapan atas kampanye para calon, tapi kebanyakan sih cuek.

Saya mungkin termasuk yang agak sok kritis, bertanya kepada calon dan timses calon. Hal yang saya tanyakan adalah komitmen waktu para calon untuk mengurusi IA. Seberapa serius sih mereka akan memberikan waktu kepada IA di sela-sela kesibukan utama mereka, yakni mencari nafkah untuk keluarganya.

Namun kalau mau jujur, sebetulnya saya bukan bertanya. Untuk apa saya bertanya? Memangnya kalau mereka menjawab 20%, 25%, atau bahkan 50% dari waktunya yang akan diberikan kepada IA, lantas bagaimana saya mengukurnya? Bagaimana pula saya memantaunya? Saya sendiri tidak akan memiliki waktu untuk memantau komitmen para calon ini jika telah terpilih nanti.

Sebetulnya, bukan itu maksud saya bertanya. Saya hanya mengingatkan para calon bahwa mereka tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk IA. Mereka memiliki pekerjaan atau bisnis. Pekerjaan yang mereka miliki bukan sembarangan pekerjaan, tapi pekerjaan kelas dewa. Begitupun para calon yang berprofesi sebagai pebisnis. Mereka itu wirausahawan tulen yang menjadi motor bagi bisnisnya. Pendek kata, mereka orang-orang yang sukses karena kompetensi mereka. Artinya, waktu luang mereka terbatas. Kalau pun mereka memiliki waktu luang yang cukup, lantas bagaimana dengan puluhan pengurus lainnya?

OK, katakanlah analisis saya di atas salah. Baiklah. Sekarang izinkan saya bercerita hal yang saya alami sendiri. Sejak tahun 2006 saya menjadi pengurus pusat di sebuah organisasi yang bernama Ikapi. Ikapi adalah asosiasi para penerbit nasional. Anggota Ikapi adalah perusahaan-perusahaan penerbit buku di Indonesia. Perusahaan tempat saya bekerja adalah angota Ikapi, jadi saya duduk di kepengurusan Ikapi sebagai representasi dari perusahaan tempat saya bekerja. Semua pengurus Ikapi seperti saya, berasal dari penerbit anggota Ikapi. Para pengurus Ikapi ada yang berstatus pimpinan/direksi, komisaris, dan manajer di penerbit anggota Ikapi tersebut. Artinya, semua pengurus Ikapi memiliki kesibukan di perusahaan penerbitannya masing-masing.

Ketua Umum Ikapi sama seperti ketua umum asosiasi atau organisasi (termasuk ikatan alumni), yakni dipilih dalam sebuah Kongres/Munas oleh para anggota. Ketua Umum lalu membentuk kepengurusan, lalu menetapkan program kerja sesuai amanat Kongres/Munas. Dalam menjalankan program-program kerja, Pengurus didukung oleh Sekretariat, dan jika diperlukan Pengurus dapat membentuk pokja atau kepanitaan. Pengurus melakukan rapat setidaknya satu kali dalam sebulan. Meskipun hanya sebulan sekali, selalu ada saja pengurus yang tidak dapat hadir di rapat pengurus. Ada saja hal penting yang menghalangi kehadiran pengurus. Masih untung ada chatting group, tapi terus terang ada hal-hal yang harus dibicarakan dengan mekanisme rapat konvensional. Rapat daring (OL) tidak pernah bisa memberikan hasil yang maksimal, apa lagi jika yang menjadi materi diskusi adalah sesuatu yang strategis.

Sulit sekali mengatur jadwal agar semua pengurus memiliki waktu luang, padahal rencana rapat telah diagendakan di awal tahun untuk satu tahun ke depan. Masih beruntung tidak ada ketentuan di AD/ART bahwa rapat harus dilakukan di sekretariat. Terkadang rapat dilaksanakan di perusahaan milik salah seorang pengurus yang di saat tertentu sangat sibuk. Selain memudahkan si pengurus yang super sibuk ini, juga memberikan suasana baru. Namun, lagi-lagi, selalu saja ada pengurus lainnya yang absen.

Seperti yang saya tulis di atas, saya menjadi pengurus sejak tahun 2006. Sudah tiga periode kepengurusan saya lakoni. Di periode 2006 – 2010 saya menjadi Kepala Bidang Diklat dan Litbang. Dari tahun 2010 – 2011, saya menjadi Kepala Bidang Keorganisasian. Kemudian di tahun 2011 menjadi Sekretaris (di bawah Sekum), hingga 2015. Di kepengurusan yang sekarang, saya dipercaya menjadi Ketua Bidang atau Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan dan Kerja Sama Antarlembaga (nama resmi masih menunggu pengesahan AD/ART baru).

Saya merasa perlu mengemukakan posisi-posisi yang pernah saya tempati di Ikapi ini sekadar untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa apa yang saya tulis ini dilandasi pengalaman, bukan pemikiran pribadi. Oiya, sehari-hari saya bekerja di sebuah penerbit buku yang cukup dikenal di Negeri ini. Ini bukan pamer posisi di organisasi dan pekerjaan. Ada banyak teman saya yang jauh lebih hebat dari saya. Ini semata memberikan gambaran yang obyektif mengenai pengalaman saya beroganisasi sambil bekerja.

Mungkin pembaca berfikir, ya pantas saja saya tidak bisa memberikan waktu sepenuhnya kepada Ikapi, karena saya hanyalah seorang karyawan, yang tidak bisa menolak jika tiba-tiba diajak rapat oleh direksi. Itu benar sekali. Namun, para pengurus lain yang kebanyakan berstatus direktur/dirut pun, tetap saja memiliki catatan absen untuk rapat-rapat atau ketika kami harus melakukan audiensi dengan pimpinan lembaga-lembaga pemerintahan atau pihak-pihak yang terkait kegiatan perbukuan. Jadi, mau manajer, mau direktur, mau komisaris, tetap saja tidak pernah memiliki waktu penuh untuk organisasi. “Masih mending pak Djadja yang lebih sering ada waktu untuk Ikapi ketimbang pengurus yang lain,” demikian pernah disampaikan Sekum dalam sebuah rapat terbatas yang hanya dihadiri Ketum, Sekum, dan saya.

Akibatnya, tidak semua program yang telah ditetapkan bisa dijalankan. Beberapa program tidak tereksekusi atau dapat dijalankan tapi dengan hasil minimal. Di kepengurusan 2006-2010, para pengurus telah menyadari hal ini, dan sampai pada kesimpulan bahwa Sekretariat harus dipimpin oleh seorang Kepala sekretariat yang kuat. Hal ini juga didasarkan pada kondisi bahwa di masa sebelumnya Sekretariat Ikapi pernah dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat yang bernama Pak Sumantri, yang memiliki kapasitas dalam mengeksekusi program-program yang ditetapkan pengurus. Lalu diangkatlah seseorang yang kami anggap mampu memimpin Sekretariat dengan baik, dan mampu mengeksekusi program-program yang ditetapkan pengurus atau mampu memberikan dukungan penuh kepada pengurus.

Hal ini tercapai, apa lagi yang bersangkutan adalah mantan karyawan di level manajer sebuah penerbit besar. Namun sayang, tidak lama setelah itu, yang bersangkutan “dilamar” sebuah penerbit. Akhirnya Sekretariat Ikapi kembali berjalan tanpa pimpinan, hanya berisi beberapa staf biasa. Hal ini berlangsung hingga tahun pertama kepengurusan 2010-2015. Pengurus baru ketika itu kewalahan dengan sejumlah program yang gagal tereksekusi. Lalu dicari Kepala Sekretariat yang baru, dan akhirnya Sekretariat Ikapi kembali memiliki kepala. Pengurus dapat bernafas lega. Beberapa kegiatan berlangsung dengan sukses, bahkan Ikapi di saat itu mendapat pujian dari para pengurus asosiasi penerbit negara-negara ASEAN, karena dapat menyelenggarakan sebuah seminar internasional di sebuah tempat yang representatif dan seminarnya benar-benar berkelas internasional.

Namun sekali lagi Sekretariat Ikapi harus kehilangan sang Kepala Sekretariat. Ada urusan pribadi yang harus ditunaikan sang Kepala baru ini, dia harus pindah ke luar kota. Kembali Sekretariat Ikapi berjalan tanpa seorang Kepala. Sekum dan Sekretaris (baca: saya) sangat kerepotan. Beberapa hal yang harus dilakukan terkadang terlupakan atau tertelan oleh kesibukan para pengurus di perusahaan masing-masing. Sekali lagi, banyak kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan.

Akhirnya, pada awal tahun 2015 Sekretariat Ikapi kembali dipimpin seorang Kepala Sekretariat. Para pengurus kembali lega. Beberapa kegiatan bisa dilaksanakan dengan baik, termasuk memberikan dukungan kepada Panitia Indonesia International Book Fair (IIBF) ketika “memindahkan” IIBF dari Istora Senayan ke JCC. Meskipun pemindahan ini sepenuhnya merupakan prestasi Panitia IIBF dan Pengurus Ikapi, tapi Sekretariat memberikan andil memuluskan kepindahan tersebut. Sekum dan Sekretaris dapat bernafas lega. Kegiatan Munas di akhir kepengurusan pun dapat berjalan lancar. Ketua Umum baru yang berasal dari pengurus sebelumnya, terpilih. Oiya, Ketum Ikapi yang sekarang ini alumnus ITB lho, seorang ibu yang memimpin sebuah penerbit di Bandung. Di kepengurusan sekarang ini ada tiga orang alumni ITB. Ya, bahkan di dunia perbukuan pun alumni ITB eksis!

Dari perjalanan yang cukup panjang sebagaimana yang saya kisahkan di atas, saya menyaksikan betapa sebuah organisasi yang pengurusnya memiliki kesibukan di tempat bekerja/berbisnis, sangat membutuhkan sebuah tim sekretariat yang kuat, yang memberikan dukungan penuh pada kegiatan-kegiatan yang ditetapkan oleh para pengurus. Sekretariat juga harus dipimpin oleh seorang kepala yang profesional dan kompeten.

Saya tidak tahu sekuat apa tim Sekretariat IA ITB. Namun saya mendengar anggota pengurus IA ITB jumlahnya cukup banyak, jauh lebih banyak dari pengurus Ikapi Pusat yang jumlahnya kurang dari 20 orang. Program IA ITB juga pastinya lebih banyak dari program Ikapi. Anggota IA ITB tentu jauh lebih banyak dari anggota Ikapi yang “hanya” sekitar 1370 penerbit (yang aktif malah kurang dari 500 penerbit).

Dengan perbandingan seperti itu, saya perkirakan tim Sekretariat IA ITB harus memiliki seorang Kepala Sekretariat sekelas seorang general manager (GM) di perusahaan, dan dia harus dibantu beberapa orang manajer yang membawahi beberapa staf. Mungkin jumlah manajer Sekretariat tidak harus paralel dengan jumlah bidang dalam kepengurusan. Bisa saja para manajer ini membawahi fungsi-fungsi tertentu. Sifatnya fungsional, bukan didasarkan pada bidang-bidang yang ada di kepengurusan.

Harapan saya, Ketua Umum IA ITB mendatang tidak membentuk kepengurusan yang gemuk, tetapi didukung oleh tim Sekretariat yang kuat, yang bisa mengeksekusi program-program yang ditetapkan pengurus sesuai amanat kongres. Ini hanya harapan saya pribadi sebagai alumnus. Juga bukan bermaksud menggurui, hanya berbagi pengalaman semata. Sekiranya apa yang saya kemukakan ini dinilai cukup bermanfaat oleh para kandidat atau Ketua Umum terpilih nanti, tentunya saya sangat menghargai penilaiannya. Namun jika apa yang saya kemukakan ini dinilai tidak memberi manfaat, saya juga menghargai penilaiannya. Bagi saya, hal yang terpenting adalah tulisan ini sudah dibaca sampai kalimat terakhir ini. (Djadja Subagdja, FI ’86)IMG-20141207-WA012

Posted in Humaniora | 1 Comment »