Beranda Djadja Subagdja

Yuk kita bebenah!

Sabar dalam Menjalani Pengobatan

Posted by djadjasubagdja on April 14, 2009

Seorang teman seprofesi yang bernama Marwati saat ini tengah menjalani terapi pasca penyembuhan lengannya yang terkilir akibat jatuh. Ketika saya tanyakan kabarnya melalui YM, setengah bercanda dia mengisyaratkan ke saya bahwa dia sudah ‘pegel’  juga menjalani terapi. Entah benar demikian atau penafsiran saya saja, tapi untuk membantu memberinya semangat, saya ceritakan pengalaman guru biologi saya di SMA. Setelah selesai saya ceritakan, dia langsung bilang ke saya kalau sebaiknya saya tulis pengalaman guru saya itu di blog. Jadi inilah kisah bu guru biologi SMA saya ini.

Ibu Dien adalah guru biologi kami di kelas 2 dan 3 SMA. Orangnya pintar dan disiplin dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Dalam mengajar, bu Dien selalu berusaha membangun pengertian-pengertian lewat peristiwa sehari-hari. Misalnya saja ketika kami selesai mengikuti psikotes masal di sekolah untuk keperluan pemilihan jurusan di perguruan tinggi. Besoknya, bu Dien langsung bertanya kepada kami, “Kemarin kalian melihat fenotive saya enggak?” Akhirnya kami mengerti konsep perbedaan fenotive dan genetive, karena kebetulan yang mengawasi kami melakukan kegiatan psikotes tersebut adalah putri tertua bu Dien yang wajahnya sangat mirip beliau.

Namun, dari beberapa hal yang disampaikan di kelas, ada satu cerita yang tidak pernah saya lupakan. Cerita ini adalah pengalaman pribadi ibu Dien ketika beliau masih duduk di bangku sekolah. Ketika itu mungkin tahun 50-an, jaman sepeda ontel merajai jalanan kota-kota besar. Jadi, singkat cerita, bu Dien kalau tidak salah digigit binatang (saya lupa anjing, monyet, kucing, atau burung), tapi yang jelas, kalau digigit binatang maka kita harus disuntik rabies.

Entahlah jaman sekarang, tapi ketika itu, yang bisa melakukan suntik rabies di kota Bandung hanya di Biofarma, di Jalan Pasteur, sebelah Rumah Sakit Hasan Sadikin. Jadi, pergilah ibu Dien ke Biofarma untuk disuntik rabies. Perlu diketahui, suntik rabies tidak sama dengan suntik biasa. Penyuntikannya dilakukan di perut dimana di bagian yang disuntik itu kulitnya menjadi menggelembung. Kemudian, penyuntikanya dilakukan hingga 21 kali di hari yang berbeda (saya lupa sehari sekali atau seminggu sekali) di bagian perut yang digelembungkan tersebut.

Karena memang proses pengobatannya seperti itu, ya terpaksa bu Dien menjalaninya. Suntikan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, hingga yang ke 20 beliau jalani dengan disiplin. Prosesnya benar-benar berat bagi beliau, karena untuk pergi ke Biofarma beliau harus menggenjot sepedanya di jalan yang meskipun diaspal tapi tidak serata  aspal jaman sekarang. Ketika itu pelapisan jalan dengan teknologi aspal hotmix belum ada. Sepanjang jalan bu Dien merasa kesakitan karena gelembung kulit tempat penyuntikannya terguncang-guncang.

Karena itu, tidak bisa kita salahkan ketika beliau akhirnya memutuskan tidak ke Biofarma lagi setelah penyuntikan ke-20. Dan betul, bisa diramalkan, beberapa hari kemudian beliau harus kembali ke biofarma, karena memang prosesnya belum tuntas. Lebih celaka lagi, penyuntikannya harus diulang kembali sebanyak 21 kali, bukan hanya suntikan ke-21-nya. Wah, kebayang ya, akhirnya harus 41 kali bolak-balik ke Biofarma.

Inti dari cerita bu Dien di atas adalah bahwa kita seyogyanya tidak menghentikan proses pengobatan di tengah jalan. Lain halnya jika kita menghentikannya dan kemudian pindah berobat ke dokter atau rumah sakit lain, dengan alasan tertentu. Makna lain dari cerita ibu Dien ini adalah pentingnya disiplin, dalam hal apapun. Disiplin memang terkadang menyakitkan, tapi terkadang lebih menyakitkan lagi jika kita tidak disiplin.

2 Responses to “Sabar dalam Menjalani Pengobatan”

  1. DeZiGH said

    Weits, jadi teringat Bu Dien lagi nih semasa SMA, bwahahahahahahh…

  2. notatherdesk said

    Wah…been there done that deh kalo soal terapi tangan sih 🙂

Leave a reply to DeZiGH Cancel reply