Beranda Djadja Subagdja

Yuk kita bebenah!

Suara Merdu bu Emmy, Semerdu Inovasi bu Emmy

Posted by djadjasubagdja on March 13, 2009

Kalau guru menyuruh murid menyanyi di depan kelas, itu mah sudah biasa. Namun kalau murid “ngerjain” gurunya agar menyanyi di depan kelas, barangkali hanya ada di sekolah kami. Kejadiannya bukan sekali, tapi beberapa kali, dan saya yakin tidak hanya saya dan teman-teman sekelas yang melakukan hal ini, tapi juga kelas-kelas lain melakukan hal sama.

Ya, bagaimana kami tidak pernah bosan mendaulat guru Bahasa Inggris kami menyanyi di depan kelas, suara bu Emmy itu merdu, enak didengar. Biasanya, kalau kelas sudah mulai kelihatan jenuh, bu Emmy menulis syair lagu di papan tulis. Setelah itu beliau bertanya kepada kami, “Ibu sudah ajarkan lagu ini kan?” Serempak kami menjawab, “Beluuum.” Kalau sudah seperti ini, bu Emmy hanya bisa tersenyum-senyum sambil berkata, “Ya, pasti kalian bilang belum, ya sudah, ibu beri contoh menyanyikannya. ” Lalu mengalunlah suara merdu ibu Emmy Yuliaty di depan kelas, dan kami pun khusuk menikmatinya. Setelah itu barulah kami bernyanyi bersama.

Hal itulah yang paling berkesan dari bu Emmy. Saya yakin tidak hanya bagi saya, tapi pasti bagi seluruh anak SMAN 5 Bandung yang mendapat pelajaran Bahasa Inggris dari beliau. Beberapa lagu sempat beliau ajarkan, tapi yang masih saya ingat adalah lagu “Roses Are Red” dan “We shall Overcome”. Saya masih ingat lagu Roses are Red karena ada di album kompilasi Bobby Vinton di kaset milik ayah saya.

Namun, tidak hanya itu yang spesial dari bu Emmy. Pada hari pertama di awal semester, pasti bu guru yang selalu tampil rapi ini menginstruksikan kepada kami untuk menyediakan dua buah buku tulis ukuran A4 yang agak tebal. Satu sebagai buku catatan, dan yang lainnya sebagai buku PR. Kedua buku tersebut WAJIB disampul oleh bagian belakang kertas kalender bekas (yang berwarna putih polos).

Setiap pekan pasti ada PR yang jumlahnya lumayan banyak, antara 30 – 40 soal. PR itu berasal dari semua pertanyaan yang ada di bab yang akan dibahas pekan berikutnya. Buku teks bahasa Inggris yang kami pakai (kalau tidak salah judul bukunya adalah Curriculum English for Senior High School), terdiri dari beberapa bab yang jumlahnya cukup banyak. Sebagaimana layaknya pola buku teks pada masa itu, awal bab dimulai dengan bacaan, lalu ada pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan, dan kemudian diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan grammar.

Ketika kami sudah menginjak kelas 2, PR kami tidak lagi hanya mengerjakan soal-soal yang ada di buku, tetapi juga menuliskan terjemahan dari bacaan di bab yang akan dipelajari di kelas. Ketika pelajaran dimulai, Bu Emmy pasti menyuruh kami semua mengumpulkan PR kami yang berupa hasil terjemahan dan jawaban pertanyaan-pertanyaan. Setelah itu, bu guru kami ini membuat pertanyaan sendiri dari bacaan tersebut secara lisan di depan kelas yang ditujukan kepada kami secara acak. Jadi, kalau misalnya PR yang dikumpulkan adalah hasil menyontek, pastilah tidak dapat menjawab pertanyaan lisan Bu Emmy di depan kelas.

Untuk setiap pertanyaan yang dijawab benar dalam bahasa Inggris, kami mendapat nilai 8, tapi jika jawabannya dalam bahasa Indonesia (tapi benar), maka nilainya 6. Siswa yang mencoba menjawab, tetapi salah, tetap mendapat nilai. Demikianlah, sepekan sekali hal ini berlangsung. Di hari lain, di pekan yang sama, biasanya diisi dengan pelajaran mengenai grammar. PR yang dikumpulkan, siang harinya sudah kembali ke tangan kami setelah beliau koreksi di jam kosong atau saat istirahat.

Hal yang terus terang membuat saya tetap mengagumi beliau hingga saat ini adalah variasi dalam pembelajaran yang dimiliki oleh Bu Emmy. Selain membahas bacaan di buku teks dan pelajaran grammar, beliau juga menyelipkan beberapa pembelajaran yang inovatif, seperti Diskusi Kelas dan Cepat Tepat. Tentu semuanya dalam bahasa Inggris.

Dalam Diskusi Kelas, kami dibagi kedalam beberapa kelompok. Pada pertemuan pertama, kelompok pertama berperan sebagai pemrasaran, kelompok kedua sebagai penyanggah. Pada pertemuan berikutnya, kelompok ketiga sebagai pemrasaran, dan kelompok keempat sebagai penyanggah. Begitulah seterusnya, lalu kemudian dibalik, yang pernah menjadi pemrasaran kemudian menjadi penyanggah.

Kelompok yang menjadi pemrasaran harus menyerahkan makalah singkat beberapa hari sebelum Diskusi Kelas dimulai. Semua makalah dinilai. Kinerja kelompok dinilai dengan terlebih dahulu ditetapkan poin-poinnya. Para penyanggah dan yang menjawab sanggahan mendapat nilai tambahan. Begitulah, sehingga pelajaran tidak membosankan. Meskipun tentu saja cukup repot kami dibuatnya terutama ketika membuat makalah kelompok.

Dalam kegiatan Cepat Tepat, kami juga dibagi menjadi beberapa regu. Lantas kemudian beberapa regu ditandingkan. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab peserta tanding dilempar ke “penonton”. Regu yang menang mandapat nilai tertentu. Mereka yang menjawab juga mendapat nilai tambahan.

Saya membayangkan, seandarinya semua guru seinovatif bu Emmy ketika melakukan kegiatan pembelajaran, tentulah sekolah menjadi sesuatu yang tidak membosankan. Selain itu, siswa juga menjadi terlatih untuk mengaplikasikan pelajaran dalam berbagai kegiatan. Dengan demikian, ketika siswa melanjutkan pendidikan atau bekerja, bekal yang didapat sudah mencukupi.

Rasanya masih belum lupa saya akan suara merdu Ibu Emmy tatkala beliau menyanyikan lagu Roses are Red. Terima kasih Bu Emmy.

Roses are re my Love

Velvets are blue

Sugar is sweet my love

but not as sweet as you ……

Leave a comment